Logika Realisme, Logika Profetik dalam Konteks Hijrah


No no noTulisan ini sebenarnya terinspirasi oleh sosok Mas Cahyana Tri Raharja, seseorang yang melantik saya menjadi anggota STAPALA, seseorang yang mengaku untuk pertama kalinya membaca Al Quran di atas gunung bersama saya. Dia selalu mempunyai sisi rehabilitatif untuk kondisi-kondisi, katakanlah, minus atau minor. Kita sebagai orang yang lebih terdidik hendaklah tidak meninggalkan orang yang tidak terdidik, kita yang suka berbuat kebaikan janganlah meninggalkan orang yang berbuat keburukan. Demikian agar kebaikan itu menjadi berkah, menyebar, dan menularkan aura positif kepada semua orang.

Nabi saya, Muhammad SAW, saya mengakui kecerdasannya. Dalam konteks pendekatan rehabilitatif seperti sisi kehidupan yang sering dijumpai Mas Cahyana itu, Nabi Muhammad SAW tidak kalah cerdas. Sejenak mari kita lihat sejarah saat kemenangan Perang Badar sehingga di Madinah banyak tawanan perang dari pihak kaum kafir Quraisy. Tawanan perang, dimanapun berada, pada umumnya tidak bisa dianggap beradap. Karena itu jaman dahulu tawanan perang itu bisa menjadi budak. Jaman sekarang, tawanan perang akan dipenjara dan menghadapi segala bentuk ancaman dari dalam jeruji besi.

Namun tidak dengan tawanan perang Badar. Benar memang mereka kafir, menyembah berhala, suka berzina, memakan harta riba, berjudi, minum-minuman keras, dan segala kejahiliyahan lainnya. Tetapi mereka memiliki sisi positif, yaitu bisa membaca, menulis dan berhitung. Melihat sisi positif itu, Nabi Muhammad SAW mepekerjakan para tawanan perang itu untuk menjadi tenaga pendidik di kalangan masyarakat Madinah. Bukan hanya diangkat menjadi guru, tetapi juga digaji. Kurang mulia apa coba bagi tawanan perang seperti itu.

Saat ditugaskan menjadi guru, tawanan perang ini tak menolak. Bayangkan jika tidak menjadi tawanan perang, apakah mereka akan menerima penugasan dari Nabi? Dalam kondisi jaman yang memusuhi Nabi, saya yakin mereka jika tidak menjadi tawanan perang tak mau disuruh menjadi guru. Tapi yaa…wallahu a’lam. Hanya Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia. Namun sesedikit literatur yang saya baca, belum menemukan ada orang kafir Quraisy yang mau menjadi guru selama kehidupan Nabi di Mekah, kehidupan pada masa awal perjuangan membawa risalah Islam. Singkat kata, saya ingin mengatakan, power can talk. Kekuasaan dapat berbicara dan mengarahkan. Entah itu untuk kebaikan atau keburukan. Tapi yang jelas, dalam konteks kehidupan Nabi, masyarakat yang diajar menjadi terdidik, tawanan perang yang ada menjadi dihargai. Itulah kebaikan yang menyebar menjadi berkah. Melihat kebaikan seperti itu, para tawanan perang itu lantas berbondong-bondong meninggalkan kehidupan jahiliyahnya dan masuk Islam.

Jauh hari sebelum perang Badar, Nabi Muhammad saat hidup di Mekah mendapatkan penentangan yang luar biasa dari kaum kafir Quraisy. Banyak orang Islam yang disiksa, sebut saja Ammar bin Yasir dan keluarganya hingga sang ibu menjadi perempuan pertama yang mati syahid, Bilal bin Rabah yang ditimpakan batu besar diatas tubuhnya di tengah terik matahari Arab, dan sebagainya. Hingga umat Islam diboikot dalam segala aspek kehidupan, tidak boleh berjual-beli, ini artinya diboikot secara ekonomi. Pasangan Islam dan non Islam, yang saat itu masih diperbolehkan, diceraikan. Ini artinya diboikot secara kependudukan. Pun secara politik semakin kuat penindasan terhadap orang-orang Islam yang lemah. Di sisi lain Nabi juga dalam kondisi lemah pasca meninggalnya Abu Tholib, Sang Paman yang secara politis senantiasa mem-back up perjuangannya, dan Khadijah, Sang Istri yang menjadi pendamping dan penguat perjuangan baik dari sisi ekonomi maupun psikologis.

Dalam kondisi yang lemah tersebut, turun lah wahyu agar berhijrah ke Yatsrib, kota yang setelah kedatangan Nabi diganti namanya menjadi Madinah. Tuhan tidak memberikan perintah secara detil mengenai tatacara berhijrah. Tetapi Nabi adalah sosok yang cerdas. Beliau menyiapkan segala kebutuhan dan strategi hijrah. Beliau menjalin komunikasi dengan masyarakat Madinah. Beliau juga memilah-milah personil yang lemah agar berhijrah pada malam hari secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan personil yang kuat dan pemberani seperti Umar bin Khaththab berhijrah secara terang-terangan di siang hari. Semua prosesi dan strategi hijrah itu diatur rapi.

Namun kita perlu mengingat, umat Islam yang berhijrah ke Yatsrib meninggalkan harta-hartanya di Mekah. Hal itu karena tidak memungkinkan membawa hartanya ke Yatsrib. Sebut saja hartawan Abdurrahman bin Auf yang meninggalkan gudang-gudang kekayaannya dan berangkat hijrah dalam kondisi fakir. Kondisi saat hijrah menunjukkan bahwa orang-orang Islam itu dalam keadaan yang lemah. Kondisi yang lemah itu juga menjadi pemicu hijrah agar menyelamatkan orang-orang Islam dari keburukan-keburukan komunitas kafir Quraisy yang lebih dominan. Ada juga yang benar-benar tidak kuasa untuk berangkat hijrah. Salah satu contohnya adalah Abu Jandal, sahabat nabi yang lemah dan dibawah kuasa ayahnya. Sahabat ini tidak ikut berangkat hijrah bersama dengan sahabat lainnya. Dia tetap tinggal bersama orang tuanya yang hidup bergeliman kejahiliyahan.

Dari kisah itu, saya ingin menyampaikan satu logika profetik lagi, yaitu logika realisme. Logika yang dibangun dari kondisi atau fenomena yang ada terjadi. Seberapapun kuatnya umat Islam melawan kaum kafir Quraisy saat masih di Mekah, maka akan lebih banyak kerugian yang didapatkan. Bukan keberkahan ataupun kemenangan yang didapatkan, tetapi justru mungkin Islam akan musnah dari dunia. Secara realistis, kondisi umat Islam memang masih lemah, sehingga menghindari keburukan menjadi lebih baik daripada membersamai keburukan itu. Lain halnya saat kondisi kuat dan lebih berkuasa seperti saat memperlakukan tahanan perang Badar. Nabi Muhammad SAW mampu membersamai keburukan orang kafir Quraisy karena yakin keburukan mereka tidak akan berpengaruh terhadap masyarakat.

Logika realisme kenabian itu yang saya tangkap dari sejarah. Walaupun sebenarnya Nabi Muhammad juga memberikan statement khusus mengenai logika realisme ini. Nabi Muhammad memerintahkan kita untuk mengubah keburukan sesuai dengan level kekuasaan yang kita miliki. Jika tidak mampu, maka cukup dengan penginkaran hati yang bisa diwujudkan dengan cara menghindari keburukan itu. “Sahabat Abi Sa’id Al-Hudri ra telah berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, hendaklah mencegahnya dengan kekuatan tangannya. Apabila tidak kuasa, maka dengan lisannya. Apabila tidak kuasa, maka hendaklah mencegah dengan hatinya. Yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).”

 

*Tulisan pagi sambil mendampingi buah hati yang sedang lemah (karena sakit)

Tinggalkan komentar